Greatest Gift

Melewati beberapa hari terakhir ini, membuat saya semakin merasa sepi di negara ini. Walaupun banyak sahabat disekitar saya yang jelas – jelas ada hampir 24 jam, rasa kesepian ini tidak pernah meninggalkan saya sepenuhnya. Yah, beberapa dari mereka mengatakan saya terserang homesick. 

Setelah melewati malam – malam galau dan terbangun pagi-pagi buta, akhirnya saya membiarkan diri saya tidur terlelap malam itu. Bukan. Bukan karena homesick saya hilang, tapi ada satu semangat baru yang baru saja disuntikkan pada diri saya. Dan semuanya berangsur – angusr menjadi lebih baik hingga saat ini saya menyadari bahwa saya benar-benar baik-baik saja.

Deringan telepon video malam ini menggema di kamar saya. Dengan sedikit tergesa saya mengangkatnya. Kebetulan teman sekamar saya sedang ‘mengungsi’ ke kamar sebelah untuk mengerjakan tugas. Saya bisa leluasa bertelepon ria malam itu.

Suara seraknya menyapa saya. Kekhawatiran langsung merasuki hati saya, tapi saya berusaha tenang. “Sakit?”. Hanya kata itu yang terlontar dari bibir saya. Tawa khasnya mengembang, “Yah biasalah, maag kambuh”. Jawaban sesederhana itu, tapi saya tau itu lebih dari cukup untuk membuat saya tenang. Dia, dia sanggup mengatasi semuanya. Dan penyakit kecil itu tak kan mampu melemahkan dia.

Saya tak mengatakan apapun tentang kesepian yang saya rasakan. Obrolan-obrolan ringan yang menenangkan. Canda tawa yang menumbuhkan semangat. Cerita- cerita yang melayangkan kembali pikiran saya ke kota kecil tempat saya dibesarkan. Semua cukup membuat tawa lepas saya menggema. Rasanya seperti saya kembali hidup di kota itu. Kata rindu yang tersirat dilontarkan, membuat hati saya hangat. Saya masih punya ‘rumah’ di kota kecil itu. Ya, hanya dia yang mampu menghangatkan hati saya, tanpa sepatah katapun keluar untuk menyinggung tentang rindu rumah, dia sudah mampu menata kembali puing-puing hati saya dan membangun ‘rumah’nya disitu.

Terkadang candanya terhenti, hanya untuk sekedar memejamkan mata dan menahan sakit yang ia rasakan. Ingin rasanya saya ada disitu, hanya untuk terbaring bersamanya dan melewatkan waktu. Saya merindukkannya. Saya sangat merindukkannya.

Sejenak saya berhenti. Mom, only you who know the deepest side of my heart, eventhough I don’t tell you any single word, you know with your own way. Yap, dialah wanita kuat itu. Wanita yang bisa menyembunyikan segala laranya dalam setiap canda tawanya. Dia yang bisa menyembunyikan sikap keibuannya yang kental dalam setiap tingkahnya sebagai sahabat. Dia yang bisa menyembunyikan amarahnya dengan pikiran-pikiran logic yang terlontar. Dan dia, yang bisa menyembunyikan tentang kekhawatirannya dengan kata-kata menenangkan untuk anaknya. Dialah, dialah wanita kuat yang selalu ada bagi saya.

God, what other things can make me happier but my mom? The greatest gift that I’ve got from You since the first time I take my breath in this crazy world. Thank you, God!! Thank you, Mom!!

Leave a comment